Perbedaan Kapal Cepat & Lambat Menuju Sabang - Aceh

Saya tiba di Bandara Sultan Hassanudin Aceh sekitar jam 4 sore, dari bandara sebenarnya bisa langsung ke Pelabuhan Ulhelee (Banda Aceh) dan nyebrang langsumg ke Sabang kalo Kamu tiba di Aceh pagi atau siang, berhubung Saya tivanya sore jadi nggak bisa langsung nyebrang ke Sabang karena jadwal penyebrangan yang terbatas. Akhirnya Saya memutuskan buat menginap satu malam di Banda Aceh.

Keesokan harinya menuju pelabuhan Ulhelhee (Banda Aceh) Saya di antar Kawan dari Couchsurfing, Bang Firdaus namanya, senang sekali rasanya sudah di perbolehkan menginap satu malam dan di antar ke Pelabuhan pagi-pagi. Nggak tau diri banget ya Saya hohoho, sudah menginap gratis, dapet tumpangan pulak. Hatur Nuhun Pisan lah!

Kapal Lambat
Keesokan harinya, ketika Saya tiba di Pelabuhan Saya langsung mencari loket kapal lambat, ya dari awal merencanakan perjalanan ini Saya memang berniat akan menggunakan kapal lambat karena harganya lebih murah dari kapal cepat. Saya coba tanya ke penjaga loket yang sedang ramai dengan antrian, tapi ternyata itu Loket Kapal Cepat, sedangkan Loket kapal lambatnya belum di buka.

Hhmm.. Seertinya terlalu pagi nih Saya, akhirnya Saya tanya jam berapa kira-kira loket kapal lambatnya di buka? Jawabnya : sekitar jam 9an loket baru dibuka. Oalaaaaah.. Padahal dari informasi yang Saya dapat di gugel, kapal lambat mulai melakukan penyebrangan paling pagi jam 8, bahkan katanya ada setiap sejam sekali. Entah Saya yang keliru atau memang faktor cuaca. Yang pasti hari itu (Sabtu, 28 Juli 2018) Kapal lambat baru mulai berangkat sekitar jam 11 siang dari Pelabuhan Ulhelee, sedangkan buat loketnya sendiri di buka jam 9an pagi.

Kapal Lambat

1. Waktu Tempuh : 2 sampai 3 jam
2. Fasilitas : Kursi penumpang, Cafe, Pelampung
3. Kelebihan : Bisa menampung motor atau mobil. Nggak begitu terasa mual saat ombak
4. Kekurangan : Tidak mendapatkan nomor kursi sedangkan kursinya terbatas, jadi banyak yang nggak dapet tempat duduk. Waktu tempuh yang lebih lama. 
5. Biaya : Rp. 25.000 (+ asuransi) *Juli 201



Kapal Cepat

1. Waktu Tempuh : 1 jam
2. Fasilitas : Kursi penumpang, Cafe, Pelampung, Ruangan ber-AC. 
3. Kelebihan : Semua penumpang dapat nomor kursi, ruangan ber-AC. Waktu tempuh jauh lebih singkat.
4. Kekurangan : Tidak bisa mengangkut motor atau mobil karena ukuran kapal jauh lebih kecil dari kapal lambat. Lebih terasa mual saat ombak. 
5. Biaya : Rp. 80.000 (+ asuransi) *Juli 2018



Nah itu dia perbedaan Kapal Cepat dan Kapal Lambat buat menuju Sabang dari Banda Aceh atau sebaliknya. Buat kamu yang mau bayar murah dan santai nggak di buru-buru waktu silahkan naik Kapal Lambat. Sedangkan buat kamu yang menjunjung tinggi kenyamanan dan kecepatan, silahkan naik kapal cepat.

Saya pribadi berangkat naik kapal lambat, tapi karena Saya di buru-buru waktu akhirnya untuk pulangnya Saya menggunakan kapal cepat. Dan jujur aja kapal cepat jauh lebih nyaman dan sejuk karena menggunakan ruangan ber-AC. Tapi bila Saya berangkat bersama banyak kawan & nggak di buru-buru waktu, mungkin Saya akan memilih kapal lambat karena lebih bebas duduk di lantai atas kapal.

Sekian. Semoga informasinya bermanfaat.

Mohon maaf bila ada banyak kata atau kalimat yang nggak sesuai EYD atau typo.



Cara Mendapatkan Sertifikat Nol Kilometer Indonesia


Setiap tempat wisata umumnya menyediakan souvenir/merchendise yang sudah sering kita lihat seperti gantungan kunci, magnet, kaos, dan lainnya. Tapi berbeda ketika kita berkunjung ke Tugu Titik Nol Kilometer Indonesia di Sabang, Aceh. Kita bisa mendapatkan souvenir yang beda, yang bisa kita jadikan kenang-kenangan dan bukti nyata kalo kita udah pernah berkunjung ke sana, selain bukti foto tentunya. Yap, sertifikat! Lain dari yang lain, Tugu Titik Nol Kilometer Indonesia menyediakan souvenir sertifikat yang bisa kita bawa pulang ke rumah.

Saya sempat mencari dan membaca di google mengenai informasi cara buat dapetin sertifikat itu. Dari informasi yang Saya dapat caranya cukup mudah ; nanti ketika kita datang ke Tugu TNKI di Sabang, Kita tinggal mencari sebuah mobil dengan petugas khusus di sana, petugas akan mencetak sertifikat yang sudah tercantum nama kita dan kita cukup membayar 30.000 rupiah untuk biaya cetak & kertasnya. Setelah itu langsung bisa kita bawa pulang.

Nasib berkata lain. Ketika Saya sudah sampai Tugu TNKI, Saya nggak mendapati mobil yang di maksud. Saya coba tanya ke beberapa warung yang ada di sana dan jawabannya kompak ; "sudah di pindahkan!" Di pindahkan kemana? Katanya lagi "Pindah ke Toko Liberti Baru di Kota Sabang.
Eng ing eng... Sudah jauh-jauh ke Sabang tapi nggak bawa sertifikat nya? Rugi banget!

Malam harinya Saya whatsappan dengan Kak Winny, sempet ngobrolin soal sertifikat itu, ternyata Kak Winny juga ngincer sertifikatnya, sama kaya Saya. Lalu Kak Winny coba datengin Toko Liberti Baru yang di maksud, hasilnya nihil. Jawaban yang di dapat, katanya sudah tidak jual lagi dan di pindahkan ke Dinas Pariwisata.

Keesokan paginya, setelah janjian bertemu dengan Kak Winny di Tugu Sabang - Kota Sabang, kami langsung datengin Dinas Pariwisata Sabang, berharap di sana beneran ada dan bisa, tapi jelas saja Dinas Pariwisata nya tutup karena waktu itu hari minggu.

Saya langsung menghubungi Bang Dedi (Orang yang menyewakan Saya motor di Sabang) Buat nanyain gimana caranya buat dapetin sertifikat itu. Kebetulan Bang Dedi Nggak bisa di hubungi. Dengan kekecewaan yang mendalam, Saya, Kak Winny dan adiknya (Bang Rizki), Kami melanjutkan perjalanan keliling Sabang. Selama di perjalanan jujur aja Saya masih berharap bisa dapetin sertifikatnya. 

Jodoh nggak kemane ye.. Bener aja, Ketika Saya sedang menuju pantai Anoi Hitam, Saya dapet telpon dari Bang Dedi, Intinya dia bisa bantu dan minta nama lengkap Saya buat di ketik di sertifikatnya.

Alhamdulillah...

Padahal udah deket banget ke Pantai Anoi Hitam nih tapi Kami memutuskan putar balik dan langsung menuju Sabang Tourism Center buat ketemu petugasnya. 

Ketika di Sabang Tourism Center Saya menanyakan langsung perihal pembuatan sertifikat itu, kenapa nggak ada di Tugu TNKI nya atau di Liberti Baru atau di Dinas Pariwisata? Jawaban dari Kakak pembuat sertifikatnya adalah : Dulu memang pembuatan sertifikat Titik Nol Kilometer Indonesia ini di perbolehkan pembuatannya di Tugu nya langsung atau di Toko Liberti dengan harga maksimal 35.000 atau di Sabang Tourism nya langsung dengan harga normal 25.000. Tapi nih ternyata banyak kecurangan, banyak yang menjual sertifikat ke turis dengan harga di atas 35.000, itu di luar kesepakatan dengan Dinas Pariwisata. Nah mangkanya sekarang pembuatan sertifikatnya hanya di Sabang Tourism Center.

Oh....... Begitu! 
Penampakan sertifikatnya
Nah, buat kamu-kamu yang nanti akan ke Sabang dan mau dapetin sertifikatnya, jadi langsung datengin Sabang Tourism Center aja ya di dekat Sabang Fair - Kota Sabang. Kantornya buka senin sampai jumat. Kalo kamu datang nya di weekend kaya Saya, coba aja datang langsung ke kantornya, siapa tau ada yang jaga, atau coba minta bantuan ke orang yang kamu kenal di Sabang, kek Saya minta bantuan Bang Dedi, orang yang nyewain Saya motor.

Emang aneh sih ya, Sabang kan sering di datengin wisatawan, dan banyak wisatawan yang datangnya di weekend, Sayang aja gitu kalo pembuatan sertifikatnya nggak di buka saat weekend juga. Apalagi buat yang datang jauh-jauhdari ujung berung kek Saya ini. 

Hhhhmmm....

Sekian....
Hatur Nuhun!

SABANG - Ujung Barat Indonesia Yang SAntai BANGet!

Sabang - Pulau Weh



Buat yang belum tau, Pulau Weh adalah sebuah pulau kecil di ujung barat Indonesia, sedangkan Sabang adalah nama kotanya, sehingga kita sering salah mengartikan Sabang sebagai nama pulau, padahal nama pulaunya adalah Weh. Saya nggak pernah terbayang akan bisa menginjakkan kaki di Pulau Weh ini.

Salah satu cara buat sampai ke Sabang adalah dengan menggunakan kapal air dari Pelabuhan UleeLheu (Banda Aceh) ke pelabuhan Balohan (Sabang - Pulau Weh). Kita bisa menggunakan Kapal Lambat atau Kapal Cepat, tergantung selera, kenyamanan dan juga jumlah uang yang mau kita keluarkan. Nanti akan Saya tulis terpisah mengenai Kapal Lambat & Kapal Cepatnya ya.

Di kesempatan kali ini Saya travelling sendirian, alias solo traveller. Berbagai informasi Saya cari, termasuk tentang transportasi selama di sana. Sabang bukanlah pelosok pedalaman yang sulit transportasi, untuk transportasi umum sendiri, disana ada ojek dan Becak Motor, tapi kalo kamu mau berlama-lama di Sabang dan mau lebih bebas kesana kemari, sepertinya pilihan itu kurang tepat. Salah satu cara paling aman adalah sewa kendaraan, baik itu motor atau mobil supaya lebih bebas, harga juga jadi lebih murah. Tenang, Kita nggak usah takut nyasar karena ada petunjuk jalan yang jelas dan jalan di Sabang semua terhubung, kalaupun nyasar akan ketemu jalan sebelumnya.

Saya memutuskan menyewa sepeda motor yang akan menemani Saya dua hari di Sabang. Berkat bantuan Bang Aulia, Saya dikenalkan dengan Bang Dedi yang menyewakan Saya motor. Saya bersyukur di pertemukan dengan Bang Dedi ini, orangnya baik banget dan banyak bantu Saya selama di Sabang, khususnya mengenai Sertifikat Nol Kilometer Indonesia.

Pelabuhan Balohan - Sabang

Sabtu, 28 Juli 2018

Hari pertama di Sabang Saya menginap di Iboih Bungalow Sabang di pantai Iboih yang lokasinya cukup dekat dengan tugu titik nol kilometer Indonesia. Saran dari Bang Dedi, karena Pantai Iboih jauh dari kota, beliau mengingatkan Saya untuk membeli segala keperluan pribadi di Kota Sabang saja karena kalau di Iboih akan susah.

Dari Pelabuhan Balohan Saya meluncur ke Kota menggunakan motor sekitar 10 menit, mencari keperluan yang mau Saya beli, yaa walaupun sebenarnya Saya sudah prepare semua tapi nggak ada salahnya kan Saya ke kota, siapa tahu ada yang Saya lupa. Nah alih-alih mencari keperluan pribadi Saya malah banyak berhenti di jalan, Saya terjebak dengan pesona keindahan Sabang selama menuju Kota. Masjid Raya Sabang, Sabang Fair dan sekitarnya.

Masjid terbesar di Sabang
Kota Sabang sendiri berada di dekat laut, di sisi jalan kiri dan kanan penuh dengan pertokoan, jalanan cukup sempit sehinggnya hanya untuk dua mobil, di sisi jalannya juga banyak pepohonan, bonus angin sepoy-sepoy dari pantai yang bikin kota sabang jadi tambah adem banget. Bangunan tokonya banyak yang masih menggunakan bangunan jaman dulu. berada di sana seperti berada di kota tua.

Siang itu sekitar pukul setengah 3 siang cuaca di Sabang terasa adem, Saya bersama motor sewaan menuju tempat penginapan yang udah Saya booking via traveloka di Pantai Iboih. Jalanan di sabang saling terhubung, di bantu dengan petunjuk arah yang jelas akhirnya Saya sampai ke penginapan tanpa nyasar. kurang lebih 45 menit dari kota sabang ke pantai iboih.

Selama perjalanan, Kita akan disuguhkan pemandangan laut, hutan, rumah warga dan begitu terus. nggak bosen deh! Asyik banget. apalagi jalanannya sepi, jadi bisa sambil salto-salto he he. Tapi nih, kita harus hati-hati selama berkendaraan di Sabang, khususnya yang naik motor, karena kita akan sering menjumpai binatang liar turun ke jalan raya, burung dan monyet misalnya. Beberapa kali Saya ketemu monyet-monyet yang berkeliaran di pinggir jalan, dan ketika Saya lewat dengan sedikit ngebut monyetnya malah ngejar. ngeri banget.

Jalanan di Sabang, sepiiiiiiii!!! 
Meskipun sudah melewati kawanan monyet-monyet yang sempat ngejar, Saya malah jadi was-was setiap kali melewati hutan, takut banyak monyet, dan ngerinya lagi kalo si monyetnya itu dari atas pohon loncat ke motor Saya dan ngacak-ngacak rambut dan perasaan saya #eehh. ha ha parno pisan euy...

Setibanya Saya di penginapan, Saya menyempatkan rebahan dulu sebentar dan meluruskan badan yang kurang ketemu kasur ini. Beruntung banget dapet penginapan ini karena ketika keluar kamar langsung di suguhkan pemandangan pantai yang indah dan pulau rubiah. di sebelah kiri penginapan ada banyak penginapan lain, toko souvenir dan dermaga buat nyebrang ke Pulau Rubiah.

Sedikit cerita tentang penginapan Saya, jadi penginapan Saya ini ada tiga lantai, di lantai bawah untuk kapasitas besar, di lantai dua bisa untuk bertiga dan di lantai tiga untuk kapasitas satu atau dua orang. total di penginapan ini cuma ada 6 kamar. Buat kamar single nya cukup luas kok dan nyaman, apalagi bangunan penginapannya terbuat dari kayu dan bilik bambu, makin berasa nyamannya.

Salah satu tempat yang ingin Saya kunjungi dan jadi salah satu alasan Saya ke Aceh adalah mengunjungi Tugu Titik Nol Kilometer Indonesia (TNKI) - Sabang. Saya sangat sangat excited, dari penginapan Saya langsung nge-gas motor buat datang ke titik nol, senangnya lagi dari penginapan ke tugu cuma 10 sampai 15 menitan. Tapi lagi lagi harus melewati banyak hutan dan bertemu dengan monyet-monyet liar menakutkan. Alhamdulillahnya nggak terjadi tragedi apapun.

Letak TNKI ini bener-bener berada di ujung pulau weh, pembangunan tugu yang barunya sendiri bisa di bilang sudah selesai di renovasi, jadi makin bagus dan megah. Nggak usah khawatir kelaparan ketika berkunjung ke TNKI, karena di sana ada banyak warung yang jual makanan, rujak khas sabang dan berbagai souvenir. Saya sempat nyicipin rujaknya dan langsung jatuh hati, uenaaaaaaak banget. harganya sepuluh ribuan. Yang bikin enak itu karena kacangnya di gerus kasar dan di campur dengan buah rumbia khas Sabang. Oh iya, nggak ada biaya masuk buat berkunjung ke TNKI loh, bahkan parkir motor pun Saya nggak di mintain biaya parkir.

Tugu Titik Nol di Ujung Barat Indonesia. 
Sore itu area wisata TNKI cukup ramai dengan pengunjung lokal dan bule-bule. Saya cukup kesulitan buat ngambil foto sendirian di tulisan "Titik 0 Kilometer Indonesia" saking ramenya, ditambah ada rombongan bapak-bapak dan ibu-ibu yang nggak mau ngalah. Untunglah ada abang-abang dari Medan yang mau bantu Saya buat ngambil foto. Terimakasih 3 Abang Abang dari Medan, akhirnya Saya kenalan dengan mereka, katanya buat mencapai sini mereka harus memotoran sekitar 10-11 jam lamanya dari Medan. WOW!

Berkunjung ke TNKI telah Saya penuhi untuk diri Saya sendiri, bangga dan haru, tapi lebih banyak bersyukurnya. tiap hembusan angin laut dari samudra hindia benar-benar Saya nikmati, tiap hembusan nafas berkali-kali lipat jadi sebuah kenikmatan yang luar biasa dari Allah.

Walaupun sebenarnya belum puas menghabiskan waktu di TNKI, tapi Saya mau balik ke penginapan dan menghabiskan waktu menyaksikan matahari terbenam dari sana, pesisir pantai Iboih. Di Aceh (termasuk Sabang) waktu memang lebih lambat dari Jawa, perbedaan waktunya satu jam lebih. Sore itu sekitar jam 6 sore tapi belum gelap, Saya masih sempat menyaksikan matahari terbenam dari depan kamar, walaupun keindahan Sunset yang Saya bayangkan nggak terbukti karena cuaca sedikit mendung.

Menatap Senja di Ujung Barat Indonesia
Saya sempat tukeran nomor whatsapp sama abang-abang dari medan ketika di TNKI, alasannya karena mereka belum dapat penginapan jadi Saya menawarkan diri buat ngebantu menyarikan penginapan di pantai Iboih, Alhamdulillah dapat satu kamar besar, AC, kamar mandi di dalam, dengan harga 250.000. Dan kebetulan lokasi penginapannya persis di samping penginapan Saya. Mumpung penginapannya sebelahan, so Saya bilang ke mereka kalo nanti malam mau ngopi-ngopi ajak Saya ya, he he lumayan kan ada kawan buat ngobrol-ngobrol.

Malam harinya sekitar pukul setengah 8 malam Saya bertemu mereka di depan penginapan lalu bertanya caffe yang paling menarik di kunjungi di Pantai Iboih kepada salah satu penjaga bungalow, katanya ada dan nggak jauh, bisa jalan kaki kok. Ok meluncur! Kami semua jalan kaki ke salah satu caffe, namanya Tipsy Toby Caffe. dari penginapan jalan kaki sekitar 5 menit. Kenapa caffe itu menarik? Katanya itu salah satu caffe yang menampilkan live music dan kopi nya enak, biasanya bule-bule kumpul di sana. Setibanya di caffee tersebut ternyata caffenya penuh pengunjung, dan benar saja penhunjungnya bule-bule semua, cuma Saya dan kawan baru Saya yang orang lokal, sisanya bule. Terpaksa dong ya Kami mencari caffe lain untuk makan. Sudah lapar. Dan terimakasih Abang-abang medan yang sudah mentraktir Saya. he he

Bersama abang-abang medan
Selesai makan malam Kami sempat jalan-jalan malam menyusuri pantai Iboih, tapi nggak ada hiburan yang bisa di lihat. hanya penginapan dan caffe. Malam hari di Sabang memang sepi, jadi cocok banget buat di pake istirahat buat hari besok.

Minggu, 29 Juli 2018

Sekitar jam setengah 4 pagi Saya kebangun gegara denger suara angin kencang dan hujan yang deras, Saat itu yang di ingat ya baju yang lagi di jemur di samping kamar, khawatir baju dan celana nya basah Saya bergegas keluar kamar dan ngamanin semuanya, termasuk handuk. Maklum, 5 hari di Aceh cuma bawa stock baju sedikit, jadi mau nggak mau beberapa baju Saya cuci, jemur dan setelah kering Saya pake lagi.

Pagi di Pantai Iboih - Sabang
Setelah itu Saya nggak bisa tidur lagi sampai subuh, sampai matahari terbit. rencanannya sih Saya dan abang-abang medan mau snorkling di pulau rubiah pagi harinya tapi batal dong karena cuaca nggak mendukung, Saya sempat nunggu cuaca cerah tapi sampai jam setengah 8 pagi masih ada sisa sisa hujan. Karena itu akhirnya Saya memutuskan buat langsung aja ke Kota Sabang dan ketemu sama Ka Winny dan adiknya. Kawan baru yang di kenalin sama Bang Yudi di Instagram.

Bang Yudi ini blogger terkece lah di Aceh, Saya pun kenal beliau karena Saya baca bloggnya dan Saya sempat ngobrol juga via message di instagram dengan beliau. singkat cerita Winny ini temannya Bang Yudi, sesama blogger. Karena Bang Yudi tau kalo Saya dan Ka winny lagi sama-sama di Sabang, akhirnya kami di kenalin deh , dan Saya dengan Ka Winny janjian di Tugu Sabang. Btw, Ka Winny nggak sendirian, beliau berdua dengan Bang Rizki, adik kandungnya.

Tugu Sabang. Tugu ini sama dengan yg ada di Merauke
Hari kedua di Sabang emang rencananya mau jelajahi Sabang bareng Ka Winny dan Bang Rizky. Di sisa sisa waktu yang ada, tempat pertama yang dikunjungi adalah Tugu Sabang, tugu yang dari segi bangunannya sama persis dengan yang ada di Merauke - Papua sana. Tugu ini berada di tengah-tengah Kota Sabang, mudah di temukan. Tapi sayang banget saat itu lagi ada festival jazz sabang, itu membuat Saya nggak bisa motret utuh Tugu Sabang karena di sampingnya persis ada panggung. Saya dan Ka Winny langsung ngomongin mau kemana lagi enaknya, tapi sebelum lanjut, kami memutuskan untuk nyari sertifikat nol kilometrer indonesia.

Menurut informasi yang di dapat dan saya baca, buat mendapatkan sertifikat itu kita bisa dapetin di dekat tugu titik nol kilometer, ada petugas yang berjaga di sana, tapi ketika kemarin Saya ke sana katanya udah pindah ke toko Liberty Baru di kota sabang. Ka winny sempat cek ke toko itu tapi katanya udah nggak bisa. hhhmmm... Cukup ribet & penuh perjuangan buat dapetinnya. cerita lengkapnya nanti akan Saya ceritain di tulisan yang berbeda ya.

Pantai Sumur Tiga
Dari jantung nya Sabang, Kami melajukan sepeda motor Kami ke Pantai Sumur Tiga. Saya suka dengan pantai ini, gradasi warna airnya indah banget, dan banyak pohon kelapa yang mempercantik pantai. Apalagi di sana sepi, cuma kami bertiga pengunjungnya, terus gratis pulak. Nggak bersama-lama di Pantai Sumur Tiga kami lanjut ke Benteng jepang buat foto-foto, terus berlanjut ke Benteng jepang lagi, terus ke benteng jepang lagi di dekat Pantai Anoi Hitam, ha ha... Sabang di penuhi benteng jepang euy dengan pemandangan laut yang indah banget.

Salah satu benteng Jepang
Satu persatu tempat wisata di Sabang kami kunjungi, walaupun nggak semuanya, soalnya waktu kami habis buat nyari sertifikat TNKI sampai-sampai nggak berasa waktu udah siang. Kami harus segera balik ke Pelabuhan Balohan buat mastiin kapal yang akan nyebrang ke Banda Aceh, soalnya ombak lagi tinggi banget, kami khawatir kapal nggak bisa nyebrang. Tapi Alhamdulillahnya kapal masih boleh nyebrang.  Sambil nunggu jadwal kapal yang akan nyebrang, Kami nyempetin makan siang mie aceh dan ngopi lagi di salah satu warung kopi dekat pelabuhan.

Salah satu Benteng Jepang
Kami memutuskan naik kapal cepat sekitar pukul 2 siang. Ada rasa sedih ketika harus meninggalkan Sabang. Jujur aja belum puas banget buat explore dan ngabisin waktu di Sabang. Tapi kalo di tunda nyebrang hari ini, khawatir besok nggak bisa nyebrang karena cuaca buruk.

Terimakasih Sabang!

Keindahanmu luar biasa, nyaman, juga tenang.